Terkadang, kata-kata yang disampaikan secara halus pun, masih terasa menyayat hati. Kalau saja aku membiarkan hatiku tak berdinding tebal, mungkin telingaku akan memanas dan tangisku tiada akan terbendung lagi. Sungguh, aku begitu terbiasa mendengar candaan hingga olok-olok yang terlontar dari mulut teman-teman dekat dan teman seperguruanku. Tapi, sekali ini mendapat kicau keraguan sekaligus kekecewaan dari pelatih dan seniorku, pertahanan diriku rasanya runtuh. Aku menyalahkan diriku—hal yang tak pernah terpikirkan untuk kulakukan. Tapi, aku harus bersyukur. Setidaknya aku diperhatikan. Setidaknya aku berani mencoba. Setidaknya aku masih normal—karena aku pernah merasa takut dengan hal yang tak bisa kulakukan. Karena aku masih punya rasa cemas yang membuktikan bahwa aku bukan manusia yang merasa sempurna yang berjalan dengan percaya diri berlebihan di atas muka bumi ini.
Setidaknya aku pernah
takut untuk gagal. Dan setidaknya aku tak terpuruk karena kegagalanku.
Hari Selasa dan Kamis selalu menjadi
hari favoritku. Walaupun hari-hari itu tidak lepas dari pelajaran-pelajaran
eksakta semacam kimia, matematika, fisika atau biologi yang selalu sukses
membuatku mengantuk dan kelaparan.Kelaparan? Bicara tentang makanan, aku adalah tipe orang yang sangat gemar memakan hampir semua jenis makanan—makanan ringan, berat, sehat, berlemak—meskipun terkadang, aku bisa menjadi orang yang sangat pemilih dalam memakan sesuatu. Waktu istirahat selalu kumanfaatkan dengan baik untuk berburu cemilan dan makanan pengganjal perut di kantin. Gorengan, makanan kemasan, makanan manis, minuman berperisa hingga es krim selalu ada di daftar jajanan yang perlu dibeli. Teman-teman kelasku, terutama Hanna, teman satu bangkuku, sering mempermasalahkan kebiasaanku makan dengan porsi diatas orang kebanyakan. Tapi aku tak pernah merasa tersinggung. Aku anggap itu sebagai bentuk perhatian mereka terhadapku.
“Ima, kurangi kebiasaanmu makan dengan porsi seperti itu. Apa kamu tidak takut dengan timbunan lemak di perutmu itu?”
“Tapi setiap hari aku harus berjalan kaki pulang pergi dari rumah. Aku butuh energi.”
“Makanan-makanan itu sudah sangat mencukupi kebutuhan kalorimu. Kalau berlebihan, itu bisa menjadi hal yang buruk bagi kesehatanmu. Lagipula, kau bisa mencari pengojek, bukan?”
“Ongkosnya terlalu mahal. Rp 2000 harus melayang”
“Itu karena kamu jajan terlalu banyak, Ima! Jadi uangmu tak pernah cukup untuk ongkos pulang.”
“Tak apalah. Toh aku masih sehat-sehat saja. Jalan kaki juga bisa membakar lemak di tubuhku.”
“Tapi kalau sampai di rumah kamu langsung menyantap apa yang kau inginkan, itu sama saja percuma..”
Hanna berpidato dan tak ketinggalan pula sungut leternya. Yah, dia memang temanku yang paling bawel soal gaya hidup sehat. Tidak heran jika mata pelajaran favoritnya adalah biologi. Satu dari sekian mata pelajaran yang mengandung kafein bagiku.
“Sudahlah, Hanna. Aku juga terdaftar sebagai anggota perguruan bela diri tangan kosong ‘Merpati Putih’, ingat?”
“Lantas apa hubungannya?” Hanna masih bersungut-sungut.
“Salah satu cara menyenangkan untuk sehat..” aku melemparkan senyum pada Hanna. Ia mengangkat sebelah alisnya.
“Maksudmu?”
“Menyehatkan tubuh sekaligus menjalankan hobi, sangat menyenangkan..”
“Terserah kau saja. Yang penting aku sudah mengingatkanmu.” Hanna akhirnya memalingkan wajahnya, mencari kesibukan lain.
Aku tersenyum setelah memenangkan perdebatan dengan Hanna. Sangat memuaskan melihat Hanna kesal karena aku sama sekali tidak mengindahkan orasi dan argumentasinya.
Setelah puas mengisi perut dan berdebat dengan Hanna, aku menyiapkan kembali buku pelajaranku. Beberapa menit kemudian, pelajaran dimulai kembali. Hanna agaknya sudah hafal dengan kebiasaan burukku mengantuk saat pelajaran, terutama pelajaran yang membosankan di jam-jam pelajaran terakhir. Jadi ketika sang guru keluar sementara dari kelas dan meninggalkan soal untuk dikerjakan muridnya, Hanna memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali memojokkanku.
“Mengantuk, Ima? Terlalu banyak makan?”
“Sst. Diamlah. Aku sedang berusaha mengerjakan soal ini.”
Hanna memonyongkan bibirnya karena ia tak berhasil kali ini. Aku malas jika harus mendengarkan teori-teori kesehatan Hanna di waktu seperti ini. Aku berbohong hendak mencoba mengerjakan soal kimia ini, padahal aku hanya ingin mencari kesempatan untuk melampiaskan rasa ngantukku.
“2 metil pentana.....”
“2,3,3, trimetil heksana...”
Nama-nama senyawa karbon itu mulai terdengar seperti nyanyian pengantar tidur bagiku. Aku makin tak kuasa menahan kantuk yang menjalari syaraf-syaraf otakku. Dan tak butuh waktu lama bagiku untuk terbang ke alam mimpi.
“Imaa, Imaaaaa...”
—Kenapa ada suara Hanna disini? huh, menganggu kedamaian saja—
“Imaaa!!!!”
Aku sontak terbangun dari tidur siangku ketika aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku dengan kuat. Ternyata itu Hanna.
“Hanna...!! Bisakah kau membangunkanku dengan cara yang lebih lembut?!”
“Cara yang lembut?! Aku memanggil dan membelaimu dari tadi. Tapi kau tak sadar juga!”
“Tapi tidak perlu sekencang itu!”
“Lagipula kau keterlaluan.... Beraninya kau tidur disaat jam pelajaran. Beruntung ini jam pelajaran kimia, bukan ......”
Hanna tak melanjutkan kata-katanya. Ia segera berlalu meninggalkanku yang masih bingung dengan buku yang masih berserakan di meja. Hanya tersisa beberapa orang teman di kelas. Baru aku sadar, ternyata bel pulang telah berbunyi saat aku masih tertidur tadi. Segera kubereskan buku-buku pelajaranku dan aku keluar dari kelas. Aku menghirup napas dalam-dalam hingga memenuhi kedua paru-paruku. Kuhembuskan perlahan, dan aku pun melangkah menuju lapangan untuk mencari teman-temanku. Tidur siang tadi cukup membuatku segar dan semangat untuk menjalani ekstakurikuler favoritku sore ini.
Setelah kurang lebih 30 menit menunggu dan telah berganti seragam Merpati Putih, akhirnya ekstrakurikuler segera dimulai. Setelah pemanasan dengan berlari keliling lapangan dan penguluran, kami mulai memasuki gerakan-gerakan latihan inti. Ekstrakurikuler ini sungguh membuatku gembira. Apalagi beredar kabar bahwa tak lama lagi akan ada seleksi POPDA. Sejak pertama kali mengikuti ekstrakurikuler pencak silat Merpati Putih ini, aku sering membayangkan diriku tengah bertanding dan memenangkan pertandingan, membawa pulang piala ke SMA ku ini, dan membanggakan orang tuaku.
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku ketika aku sadar bahwa untuk mewujudkan impianku itu memerlukan proses yang panjang dan melelahkan.
“Untuk kalian yang sangat berminat, mulai Kamis besok kita akan menyelenggarakan latihan tambahan rutin untuk atlet yang ingin mewakili SMA ini.”
Pelatihku, mas Mif memberikan instruksinya diakhir latihan kali ini. Aku pikir, mungkin ini salah satu kesempatanku untuk membuktikan diri. Aku berniat untuk mengikuti latihan itu.
“Masalah pendaftaran, itu adalah urusan nomor ke sekian, yang harus diprioritaskan adalah kesiapan mental dan fisik kalian.” lanjut mas Mif.
Dan ekstrakurikuler pun
diakhiri dengan ritual seperti biasa. Sore itu aku pulang ke rumah dengan
membawa harapan besar dalam benakku.
Latihan rutin dalam rangka persiapan
atlet POPDA pun diselenggarakan di luar hari ekstrakurikuler. Salah satunya
hari Minggu. Dan hari Minggu ini, aku berjalan dengan semangat menuju ke
sekolah. Sesampainya disana, kulihat beberapa seniorku—Kak Dimas, Kak Fira,
serta beberapa teman satu angkatan seperti Rifki, Heru, Nova. Aku sangat
bersemangat menjalani latihan fisik ini, namun aku baru tersadar akan sesuatu.
Seperti halnya cabang
olahraga pencak silat lainnya, atlet tentunya akan dikelompokkan dalam
kelas-kelas berdasarkan bobot tubuhnya. Dan harus kuakui, aku agak menyesal
karena tak pernah menganggap serius teori-teori Hanna. Karena sering
mengonsumsi makanan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu, tak ayal jika aku overweight, dengan bobot tubuh lebih
dari 67 kg. Aku terkejut dengan konsekuensi yang harus kuterima—aku harus
berusaha menurunkan bobot tubuhku agar minimal, aku bisa masuk kelas G-putri.
Dan ironisnya, aku harus lebih bersabar dengan candaan serta ejekan dari Kak
Dimas dan senior lainnya. Beruntung masih ada Mas Mif dan Kak Fira yang selalu
berusaha membela dan menyemangatiku. Aku pun bertekad, untuk menjalani program
penurunan berat badan. Demi bisa mengikuti POPDA, apapun harus kuperjuangkan!
Beberapa hari kemudian, aku mulai
mengurangi jenis makanan penuh lemak dan kalori dalam menu sehari-hariku. Dan
ketika berada di kantin, aku seringkali tergoda dengan jajanan favoritku,
semacam gorengan dan kawannya. Tapi Hanna selalu mencegah dan mengingatkanku.
Agak menyebalknan, memang. Tapi apa boleh buat.“Ini sudah menjadi komitmenmu, Ima.. Kau lupa?”
Itulah kata-kata andalan Hanna untuk mencegahku memakan sesuatu. Aku mulai iri dengan Hanna yang hampir tiap hari membawa bekal makanan. Seandainya saja umi mau menyiapkan bekal untukku, mungkin aku tak akan sesembrono ini melahap jajanan yang belum tentu sehat untuk tubuh gempalku.
“Hanna, kau bawa apa hari ini?”
“Telur mata sapi, tumis kangkung, dan nasi hangat.”
“Wah... Bolehkah aku?”
“Hm, maaf Ima. Lebih baik kau makan roti tawar ini saja.”
Hanna melemparkan bungkusan berisi roti dan selainya.
“Uh, dasar Hanna pelit..!”
“Hei, aku hanya mencoba membantumu. Asal kau tahu saja, nasi ini saja sudah menyumbang lebih dari 200 kalori, belum lagi sayur dan telur. Kandungan kolesterol kuning telur juga lebih dari 200...!”
“Tapi masih kau makan juga! Aku heran, padahal makananmu beragam, tapi kenapa tubuhmu tak kunjung membesar?” Aku mengejek Hanna yang memang berperawakan mungil, sangat kontras denganku. Tapi ironisnya kami duduk bersebelahan.
“Aku belum sarapan, Ima. Lagipula istirahat pertama tadi kau sudah jajan..”
“Uh, Hanna. Tetap saja roti dan nasi sama-sama mengandung karbohidrat!”
“Tapi kalori roti tawar hanya 80kkal. Lebih baik lagi jika kau makan roti gandum, hanya 69kkal, lebih sehat dan sama-sama mengenyangkan..”
“Tidak enak! Lebih baik aku membeli nasi goreng saja!” aku bersungut-sungut hendak meninggalkan Hanna. Tapi ia justru meninggikan nada bicaranya.
“Hei..! Kau sungguh nekat! Nasi goreng kalorinya lebih dari 600.. Ima...!!!”
Ah. Peduli amat dengan
teori kalori Hanna. Aku hanya ingin memuaskan rasa laparku.
Saat penimbangan selalu menjadi momen
yang kutunggu. Dan ketika mendapati bobotku turun beberapa kilo setelah
menjalani latihan fisik yang melelahkan, aku senang bukan kepalang. Kupamerkan
hal itu pada Hanna. Ia hanya tersenyum kecut menanggapinya. Tekadku untuk menurunkan berat badan makin
besar. Bahkan saat acara ulang tahun adik kecilku—Fadil, aku rela tidak memakan
satu suap pun makanan penuh gula, lemak, kolesterol dan kalori. Padahal, kue
tar, sate ayam, gulai kambing, nasi kuning dan hidangan lainnya tersedia di
meja makan dan sangat menarik seleraku. Pertahanan diriku hampir runtuh lagi.
Alhasil, aku terpaksa memakan buah pisang, apel dan buah-buah lainnya untuk
mengganjal perutku. Sungguh menderita, tapi aku sadar betul, inilah perjuangan.
Beruntung, selain Hanna di sekolah, umi di rumah juga menjaga benar pola
makanku. Umi bahkan rela mengeluarkan uang lebih untuk membeli buah-buahan
segar demi mendukung program dietku. Sungguh, akan sangat sia-sia pengorbananku
jika aku tak giat berlatih, pikirku.Dan ketika POPDA hanya berselang beberapa hari, aku masih konsisten menjaga pola makanku. Kini aku sering membawa bekal makanan dan air mineral dari rumah. Alhasil, aku berhasil dan berhak menjadi peserta POPDA, walaupun hanya masuk di kelas G-putri. Tapi ada sesuatu yang membuatku agak tidak puas, karena aku mengikuti POPDA tanpa terlebih dahulu diseleksi. Tak seperti kawanku yang lain, mereka terlebih dahulu bertanding bebas dengan sesama peserta satu kelas untuk memperebutkan posisi sebagai peserta POPDA. Yah, apa boleh buat, karena di kolat (kelompok latihan) di SMA-ku tak ada lagi peserta dari kelas G-Putri, aku pun terpilih tanpa seleksi, karena memang aku lah satu-satunya anggota kelas G-Putri. Agak mengecewakan, tetapi yang terpenting, aku dapat mengikuti POPDA.
Suatu hari ketika aku hendak menanyakan sesuatu tentang prosedur pengisian formulir, aku hendak menemui Kak Dimas di ruang sekretariat MP. Kulihat Kak Dimas tengah bersama dengan seorang temannya. Rupanya itu Kak Kiki, aktivis gerakan pramuka sekolahku. Awalnya aku mencoba bersikap biasa saja di depan mereka berdua. Namun, lama kelamaan aku justru dibuat kesal dengan Kak Kiki.
“Kak Dimas, formulir ini harus dikumpulkan pada siapa?”
Belum sempat Kak Dimas menjawab, Kak Kiki berceloteh dengan ringannya.
“Kamu? Kamu mengikuti POPDA? Apa tidak salah seleksi, Dim?”
“Dia memang tak di seleksi. Langsung resmi masuk kelas G-Putri.” Sahut Kak Dimas.
Kemudian mereka mulai menertawakanku. Rasa marah sekaligus malu bercampur dan menyesak di dadaku. Aku berlari menuju kelas. Aku tak dapat membendung tangis dari pelupuk mataku. Hanna melihatku, agaknya ia paham dengan apa yang telah terjadi padaku.
“Sudahlah. Tak usah dipikirkan. Mereka hanya iseng, Ima. Jangan pedulikan mereka, fokus saja dengan tujuanmu sekarang.. Anggap itu bumbu penyedap.”
Ya, mungkin Hanna benar. Untuk apa aku mempedulikan hal tak penting. Aku hanya perlu fokus dengan tujuanku. Bukannya terpicu emosi karena hal yang lain yang sama sekali tidak urgen dan tak layak untuk dipikirkan.
Dan, 11 Maret 2013. POPDA hanya berjarak 1 minggu. Esok hari adalah hari libur nasional, selain itu, minggu yang lalu baru saja dilaksanakan Ulangan Tengah Semester, sehingga hari ini selain aku sibuk mempersiapkan diri untuk POPDA, aku pun sibuk membantu teman-teman kelas untuk mempersiapkan peserta lomba Kegiatan Tengah Semester. Uh, aku agak kehilangan sosok Hanna yang usil hari ini. Batang hidungnya tidak nampak. Terakhir bertemu Hanna adalah Hari Minggu kemarin saat aku menjalani latihan rutin dan Hanna pun menjalani pelatihan debat. Ya, hari ini Hanna mengikuti lomba debat. Tak lupa aku mengirimkan pesan singkat untuk menyemangatinya.
—Hanna! SEMANGAT dan Selamat berdebat!!! J—
Hari-hari pun berlalu. Kepulangan Hanna membawa banyak cerita tentang kekalahannya yang menyakitkan, dengan selisih poin yang tipis, yaitu 1 poin.
“Bayangkan Ima, timku kalah karena aku membawakan tentang kerusuhan di Syuriah di waktu yang tidak tepat! Dan itulah faktor utama mengapa timku kalah dengan beda poin hanya 1, Ima.. Bayangkan betapa terpukulnya hatiku....”
Aku hanya mengangguk
dan mengiyakan cerita Hanna. Memangnya apalagi yang bisa kulakukan? Aku tak
tahu menahu tentang debat.
18 Maret 2013Handphone-ku bergetar. Ada pesan singkat masuk. Rupanya itu Hanna.
—Semangat Weharima...!!! buktikan kau BISA !! J—
Aku tersenyum membaca pesan dari Hanna. Walaupun hatiku kalut tak karuan, cemas dan terus membayangkan bagaimana sosok lawanku nanti, aku mencoba bersikap wajar di depan kakak-kakak dan Mas Mif. Dan perjalanan panjang akhirnya berakhir saat mobil rombongan kolat kami tiba di GOR. Kami segera memasuki GOR.
Waktu terus berjalan, hingga sore ini hanya beberapa peserta dari kolat kami yang maju bertanding. Namun, pertarungan Kak Dimas menjadi partai penutup pertandingan hari ini. Aku dan teman-teman terus menyemangati Kak Dimas. Kami berteriak, meneriakkan nama Kak Dimas dengan serunya. Tak apalah jika dianggap kampungan, toh inilah cara kami menunjukkan dukungan kami.
“Kak Dimas ,, semangat!!! Ayo maju, kak!!” aku tak henti berteriak. Harus kuakui, lawan Kak Dimas membuatku menelan ludah. Lawan dari lain perguruan itu berbadan tegap dan tinggi semampai. Tak bisa dipungkiri, Kak Dimas tampak kewalahan menghadapinya. Lawan Kak Dimas terus menendang dengan cukup brutal. Kak Dimas yang memang sudah kalah dari segi tinggi badan tampak tak bisa menghadapi lawannya ini. Tak heran jika akhirnya ia kalah dalam partai penutup hari pertama ini. Aku bisa merasakan kekecewaan Kak Dimas setelah mengalami kekalahan. Padahal, sebelum bertanding tadi bobotnya lebih beberapa ons, ia akhirnya berlari-lari hingga berkeringat, sehingga bobotnya kembali memenuhi syarat. Sungguh melelahkan, pikirku. Aku jadi teringat dengan bobot tubuhku. Aku takut jika aku salah makan dan berat badanku naik lagi. Tapi kata Mas Mif, aku tak perlu cemas karena makanan disini tidak sembarangan, lagipula tetap ada latihan bagi peserta yang belum bertanding.
Dan disinilah aku, selama hampir 3 hari hanya duduk, makan, latihan, dan menonton pertandingan. Hampir tak ada rutinitas lain. Kondisi ini sempat membuatku tidak enak pada kawan-kawanku yang terlihat lelah bertanding. Apalagi ketika tiba saat melakukan napas penyembuhan, aku merasa benar-benar tak perlu melakukannya. Karena aku memang baik-baik saja, tak seperti beberapa temanku yang cedera setelah bertanding. Beberapa kawanku, seperti Rifki, telah bertanding di hari pertama, walaupun masih kalah. Adapun Kak Fira juga sudah bertanding dan ia sukses menumbangkan lawannya. Rasa cemasku semakin menjadi. Aku ingin segera bertanding. Besar harapanku untuk bisa bertanding di malam ke-3 ini juga, karena semangat dan kondisi tubuhku sedang bagus. Tapi apa boleh buat, pertandingan untuk malam ke-3 semuanya ditunda hingga hari esok, hari ke-4 dikarenakan hari yang sudah larut malam.
Uh, rasa cemasku makin menjadi. Semalaman ini aku tak bisa tidur dengan nyenyak, terus memikirkan bagaimana sosok lawanku nanti. Yang ada di bayanganku, lawanku bertubuh besar dan tinggi. Uh, aku makin takut. Dan ketika mentari terbit, kecemasanku tak dapat disembunyikan lagi. Mas Mif yang paham benar dengan kondisiku mencoba terus menenangkanku. Akhirnya, saat yang kutunggu tiba.
“Partai 173, sudut merah....”
Sudut merah adalah sudutku. Aku agak lega melihat lawanku yang tidak sesuai perkiraan. Apalagi Mas Mif terus mendukungku di sudut ini. Dan pertandingan pun dimulai. Dari pengamatanku, lawanku ini gerakannya sungguh lambat. Aku mencoba menikmati detik demi detik dengan adrenalinku yang terpacu. Suasana justru terasa sepi, hanya kudengar suara Nova yang menyemangatiku. Uh, agak sebal juga rasanya. Tapi, awal pertandingan ini dapat kukuasai dengan cukup baik. Aku bisa menjatuhkan lawanku. Beruntung juga berhadapan dengan lawan lambat seperti ini. Tapi malapetaka justru datang setelah itu. Aku yang memang bertanding dengan kurang semangat karena partai yang terus ditunda, menjadi tidak fokus dengan gerakan lawan. Sungguh memalukan, ketika aku ingin segera mengakhiri partai dengan menjatuhkan lawan, aku malah membuat kesalahan fatal yang membuat lawanku dengan mudahnya menjatuhkanku. Hatiku begitu kalut begitu kulihat 3 wasit mengangkat bendera biru dan 1 wasit mengangkat bendera warna merah. Itu berarti aku kalah. Aku berdiri dengan lunglai, kulihat wajah Mas Mif begitu terkejut. Samar-samar, aku mendengar bisik-bisik yang sungguh mendidihkan hatiku. Aku akhirnya memilih memisahkan diri dari kawan-kawanku. Dan, tangisku tak dapat kubendung lagi ketika akhirnya aku sendirian.
“Ima. Apa yang menurutmu sedang kau lakukan?” suara Kak Fira mengagetkanku.
Aku menghapus air mata di pipiku. Aku mengatur napasku sehingga nada bicaraku tak terdengar seperti orang menangis. Tapi aku tak berhasil. Kak Fira tahu apa yang bergejolak di hatiku.
“Hei! Kenapa kau menangis..? Apa karena kejadian barusan?”
Aku mengangguk pelan. Kini aku tak lagi menyembunyikan tangisku.
“Untuk apa kau menangis. Ini pengalaman pertamamu. Tak sepantasnya kamu menangisi hal ini. Kamu hanya perlu koreksi diri, Ima.. Jadi lebih baik di masa yang akan datang...”
“Tapi, Kak...” aku tak melanjutkan perkataanku. Benar juga apa yang dikatakan Kak Fira.
“Ima. Apa yang kau lakukan disini?” suara Mas Mif mengagetkanku.
“Ti, tidak, mas..” Kak Fira kemudian berlalu meninggalkanku. Kini tinggal aku dan Mas Mif.
“Tidak baik menyendiri. Apalagi menangis tanpa berbagi. Kembalilah bersama teman-temanmu.”
“Jika kamu menangis karena kekalahanmu, tak apa. Tapi jangan sia-siakan air matamu itu. Jadikan tangisanmu itu sebagai satu jalan yang tak boleh dilewati lain kali. Kamu harus lebih baik nanti. Kamu tak akan menangis lagi nanti. Camkan itu.” Lanjut Mas Mif.
“Baik mas, Ima berjanji akan menjadi lebih baik..”
“Bagus. Ayo kembali berkumpul bersama kawan-kawanmu..”
Kami pun kembali berkumpul. Di luar dugaanku, tak ada satu pun dari mereka yang mencoba bertanya mengapa aku kalah. Aku cukup lega. Namun kelegaanku tak berlangsung lama. Kulihat di area pertandingan, lawanku tadi sedang melawan peserta dari kolat lain. Aku menelan ludah. Ada sedikit rasa kesal berkecamuk di dadaku. Apalagi ketika seniorku, Kak Diki mulai berkomentar.
“Hei, lihat anak itu. Gerakannya lamban sekali. Kenapa dia bisa lolos?”
“Eh, kak. Dia adalah lawan Ima tadi..” bisik Nova.
“Hah? Ima... Ya ampun, dia, dia, padahal dia...” Kak Diki tak melanjutkan perkataannya.
Aku kembali mencari alasan untuk menyendiri.
“Ima, memang agak tidak masuk akal. Lawanmu begitu lambat bergerak, dia tak punya peluang besar untuk menang. Tapi, entahlah. Mungkin lain kali kau harus bertindak lebih tenang..”
Aku terus
memikirkan kata-kata Mas Mif. Ah, aku belum pernah merasa tidak enak seperti
ini. Namun kemudian, kata-kata Mas Mif kembali menyadarkanku. Bukan aku
satu-satunya orang yang gagal. Aku bukan satu-satunya yang membuat kesalahan.
Karena itulah, aku menguatkan diriku untuk kembali menonton pertandingan.
Teman-temanku sudah tak fokus menonton lagi. Tapi ada satu pemandangan yang
membuatku tersenyum. Lawanku kalah di pertandingan itu. Ia melempar sabuk tanda
menyerah. Aku pun bertekad, suatu saat aku harus mengalahkannya dengan tanganku
sendiri, dengan satu kali jatuhan. Aku tersenyum memikirkan hal itu.
Teman-temanku yang melihatku tersenym langsung mencoba memojokkanku lagi. Tapi
kali ini aku tegar. Aku tetap tertawa, dan menganggap semua ini adalah
pengalaman berharga.
Ini adalah kekalahanku yang pertama. Aku
sadar betul, setelah kekalahan pertama, mungkin akan ada kekalahan kedua,
ketiga dan seterusnya. Tapi aku harus tegar. Aku tak boleh menyerah. Setidaknya
aku tak gagal. Aku tak gagal membangun pertahanan diriku. Setidaknya, kegagalan
telah menempa diriku, menjadi pedang tajam yang kuat, tak berkarat karena
pengaruh air hujan yang menghujam.Sumber Cerita : Halimah
Author : Hemi Trifani
0 komentar:
Posting Komentar